Bayangkan Anda
sedang mencari alamat di sebuah kota, tetapi setiap peta yang Anda gunakan
memberikan informasi yang berbeda. Bingung, bukan? Situasi inilah yang selama
bertahun-tahun terjadi di Indonesia, terutama dalam pengelolaan tata ruang dan
perizinan. Tumpang tindih peta dan data yang tidak sinkron telah membuka celah
besar bagi praktik koruptif, terutama dalam pemberian izin penggunaan lahan.
Namun, sejak 2019, Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) telah
mendorong penerapan Kebijakan Satu Peta sebagai langkah konkret untuk menutup
celah tersebut.
Apa itu
Kebijakan Satu Peta?
Kebijakan Satu Peta
adalah inisiatif pemerintah untuk menyatukan semua peta tematik yang selama ini
dibuat oleh berbagai instansi ke dalam satu sistem informasi geospasial yang
terintegrasi. Dengan standar yang seragam, kebijakan ini bertujuan
menghilangkan tumpang tindih informasi dan memastikan bahwa data tata ruang
yang digunakan oleh pemerintah dan masyarakat adalah data yang sama. Hingga
kini, lebih dari 80 peta tematik telah disinkronkan melalui kebijakan ini,
termasuk peta wilayah kehutanan, perkebunan, pertambangan, dan wilayah adat.
Mengapa
Penting untuk Mencegah Korupsi?
Sebelum adanya
Kebijakan Satu Peta, pemberian izin di sektor kehutanan, perkebunan, atau
pertambangan sering kali dilandasi data yang tidak akurat atau bahkan
manipulatif. Hal ini memunculkan konflik kepentingan, tumpang tindih lahan, dan
celah bagi suap atau gratifikasi. Misalnya, izin konsesi perkebunan sawit yang
diberikan di atas kawasan hutan, atau penguasaan lahan tambang yang sebenarnya
masuk wilayah adat tanpa persetujuan masyarakat lokal.
Dengan Kebijakan
Satu Peta, setiap izin yang dikeluarkan harus mengacu pada data peta yang sama.
Artinya, semua pihak - dari pemerintah pusat, daerah, hingga investor -
berbicara dalam "bahasa" yang sama. Ketidakselarasan data yang
sebelumnya dimanfaatkan untuk korupsi kini dapat diminimalisir, karena
transparansi data memungkinkan pengawasan publik yang lebih efektif.
Dampak
Nyata Kebijakan Satu Peta
Sejak didorong
Stranas PK pada 2019, Kebijakan Satu Peta telah menghasilkan beberapa dampak
signifikan:
- Peningkatan Transparansi: Data geospasial yang terintegrasi memudahkan publik untuk memantau
perizinan lahan, sehingga mencegah pemberian izin yang tidak sesuai
prosedur.
- Penyelesaian Konflik Lahan: Banyak konflik lahan yang berhasil diurai melalui peta tematik
yang akurat dan terstandarisasi.
- Efisiensi Tata Kelola: Proses perizinan menjadi lebih cepat dan akurat, karena semua
pihak mengacu pada sumber data yang sama.
Penyelarasan
Data Geospasial
Pendekatan Pasal
110A dan 110B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja)
memberikan landasan hukum yang kuat untuk menertibkan perizinan dan
penyelesaian konflik tata ruang. Berikut adalah capaian nyata dari Kebijakan
Satu Peta dengan pendekatan tersebut:
1.
Penyelesaian Konflik Tata Ruang
Pendekatan Pasal
110A dan 110B memungkinkan pelaku usaha yang terlanjur memiliki izin tetapi
tidak sesuai tata ruang untuk melakukan penyesuaian melalui mekanisme perbaikan
atau penyesuaian tata ruang. Hingga kini, sejumlah capaian meliputi:
- Revisi Tata Ruang: Pemerintah daerah di beberapa wilayah telah menyelesaikan revisi
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk menyesuaikan dengan data
geospasial yang telah terintegrasi. Hal ini mengurangi potensi sengketa
antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha.
- Penyelesaian Konflik Lahan: Pendekatan KSP telah membantu penyelesaian sengketa lahan di
wilayah Kalimantan dan Sumatra, terutama di kawasan yang tumpang tindih
antara konsesi perkebunan, kehutanan, dan pemukiman masyarakat adat.
2.
Integrasi Data Perizinan
Dengan dukungan
Pasal 110A dan 110B, data perizinan usaha berbasis geospasial mulai
terintegrasi ke dalam Kebijakan Satu Peta. Capaian ini meliputi:
- Penghapusan Perizinan Bermasalah: Melalui validasi data geospasial, izin-izin usaha yang berada di
kawasan konservasi atau kawasan hutan lindung tanpa dasar hukum yang jelas
telah dibatalkan. Contohnya, di Kalimantan Timur, beberapa izin tambang
yang tumpang tindih dengan kawasan lindung telah dicabut.
- Transparansi Perizinan: Data perizinan berbasis geospasial yang tersedia untuk publik
melalui Geoportal Kebijakan Satu Peta mempermudah pengawasan oleh
masyarakat dan pemerintah. Hal ini mencegah penerbitan izin baru di
wilayah yang tidak sesuai tata ruang.
- Penerimaan Negara dari Denda Administrasi
Hingga
tahun 2024, Stranas PK berhasil memetakan potensi penerimaan negara melalui denda sawit dalam kawasan hutan
sebesar 30,2 triliun rupiah dan denda
tambang dalam kawasan hutan sebesar 1,1 triliun rupiah. Hal ini
merujuk pada UU Cipta Kerja pasal 110 A dan 110 B.
3.
Percepatan Penataan Kawasan Hutan
Pendekatan Pasal
110B memberikan kesempatan kepada perusahaan yang terlanjur berada di kawasan
hutan untuk mengurus pelepasan kawasan atau melakukan pengembalian lahan.
Capaian terkait meliputi:
- Pengembalian Kawasan Hutan: Hingga saat ini, ribuan hektar kawasan hutan yang sebelumnya
dikelola oleh perusahaan tanpa izin telah dikembalikan ke negara.
Kerja
keras Stranas PK juga mendapat apresiasi di Hakordia 2024 lalu. Pasalnya, total
kawasan hutan yang sudah berhasil ditetapkan meningkat mencapai 106 juta ha
atau sekitar 85% dari total kawasan hutan di Indonesia. Dari sisi
integrasi tata ruang laut dan darat, 20 Provinsi telah menetapkan Perda Rencana
Tata Ruang Wilayah.
- Kepastian Hukum bagi Pelaku Usaha: Mekanisme perbaikan melalui Pasal 110B memberikan kepastian hukum
bagi pelaku usaha yang memenuhi kewajiban perbaikan, seperti membayar
denda administratif atau menyerahkan lahan kompensasi.
4. Dukungan
Penegakan Hukum
Pendekatan Pasal
110A dan 110B juga memberikan peluang bagi pemerintah untuk menindak tegas
pelaku usaha yang tidak mematuhi tata ruang dan peraturan. Dengan integrasi
data Kebijakan Satu Peta:
- Peningkatan Pengawasan: Aparat penegak hukum memiliki akses ke data yang valid untuk
menindak pelanggaran tata ruang.
- Efisiensi Proses Hukum: Sengketa terkait perizinan dapat diselesaikan lebih cepat karena
adanya acuan data geospasial yang seragam.
5. Dampak
pada Pencegahan Korupsi
Kebijakan Satu Peta
mencegah peluang korupsi di sektor perizinan dengan:
- Meningkatkan Transparansi: Data yang terintegrasi dan dapat diakses oleh publik mengurangi
ruang bagi manipulasi perizinan.
- Mengurangi Tumpang Tindih Perizinan: Penyelarasan tata ruang dan perizinan berbasis geospasial menutup
celah untuk penerbitan izin ganda.
Tantangan
dan Harapan ke Depan
Tentu saja,
pelaksanaan Kebijakan Satu Peta tidak tanpa tantangan. Proses sinkronisasi data
antarinstansi membutuhkan waktu dan koordinasi yang intensif. Belum lagi
resistensi dari pihak-pihak yang selama ini diuntungkan oleh data yang tidak
akurat. Namun, komitmen pemerintah dan Stranas PK dalam mendorong kebijakan ini
terus berjalan.
Harapannya,
Kebijakan Satu Peta tidak hanya menjadi alat teknis untuk menyelaraskan data,
tetapi juga menjadi simbol integritas dalam tata kelola pemerintahan. Dengan
data yang transparan dan akurat, Indonesia bisa melangkah lebih jauh dalam
mewujudkan pembangunan yang berkeadilan dan bebas dari korupsi.