Revisi Perpres Untuk Pengelolaan Sampah

19 Desember 2023

Pengelolaan sampah segera memasuki babak baru dengan rencana revisi Peraturan Presiden Nomor 35 tahun 2018. Seperti diketahui bahwa pemerintah berencana merevisi Perpres 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Selasa siang, dengan difasilitasi Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, digelar pertemuan informal sebelum masuk ke pembahasan formal mengenai prosedur penyempurnaan revisi Perpres.

Pertemuan informal selasa siang merupakan tindak lanjut dari hasil Rapat Eselon I tanggal 20 oktober lalu, dimana telah disepakati untuk dilakukan rapat koordinasi untuk membahas materi muatan untuk diatur dalam Rancangan Perpres pengganti Perpres 35/2018. Setidakya 2 agenda besar dalam rapat informal selasa siang, yaitu penyiapan panitia antar kementerian (PAK) dan pembahasan substansi materi muatan Perpres.

Tenaga Ahli Stranas PK, Juhanah yang hadir dalam rakornis selasa siang menyebutkan bahwa terkait revisi Perpres adalah bagian dari aksi Penguatan Pengawasan Badan Usaha Pemerintah (BUMN dan BUMD), dimana Stranas PK mendorong kerjasama BUMN-BUMD dalam pengelolaan sampah diantaranya menjadi Refuse Derivied Fuel, RDF, maupun Bahan Bakar Jumputan Padat, BBJP. Misal Semen Indonesia. “Kami berharap agar RDF bisa direplikasi ke beberapa daerah lain. Kami mencermati beberapa kajian dan kunjungan ke beberapa daerah kabupaten kota yang mulai menggunakan teknologi RDF. Konsepnya bukan waste to electricity tapi waste to energy. Revisi Perpres diperlulan agar tidak mengunci 12 daerah mengolah sampah jadi listrik. Tapi bisa dibuka opsi lain dan tidak hanya ditujukan ke 12 daerah. Intinya bahwa pengelolaan sampah disesuaikan kondisi masing-masing daerah dan bisa diberdayakan untuk penguatan BUMD-BUMN sebagai bagian dari aksi pencegahan korupsi.”, jelas Juhanah.

Seperti diketahui bahwa Perpres 35/2018 diharapkan mampu mendorong percepatan penanganan sampah di 12 kota dengan timbulan sampah yang besar, namun progresnya masih lambat. Sebelumnya, Dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2016, PLN disebut menjadi pembeli listrik PLTSa dengan harga US$ 0,18 per kilowatt hour (kWh). Tapi pembangunan pembangkitnya tidak terealisasi. Pemerintah kemudian merevisi aturan itu melalui Perpres Nomor 35 Tahun 2018. Sebanyak 12 daerah ditunjuk untuk percepatan pembangunannya. Tarif pembelian listriknya turun menjadi US$ 0,13 per kWh. Sampai akhir 2019, PLN tidak melakukan realisasi pembelian listrik tersebut.

Dari 12 wilayah administratif, sejak tahun 2018 tercatat, baru 1 daerah sudah beroperasi, yaitu Kota Surabaya. Satu kota sedang commissioning, yaitu Surarta. Sementara sisanya tidak berporgres termasuk DKI Jakarta, yang disebabkan kendala kemampuan pembiayaan. salah satu kepala daerah yangmasuk dalam Perpres sempat keberatan dengan proyek pembangkit tersebut. Pasalnya, untuk menyetor sampah ke swasta, pemerintah harus membayar Rp 310 ribu per ton. Sementara jumlah yang dihasilkan mencapai 1.400 ton per hari. PLN pun wajib membayar listrik yang berasal dari PLTSa. Padahal, belum tentu tegangannya sesuai ketentuan danLagi-lagi proyek ini hanya menguntungkan swasta. Sementara 1 daerah yaitu Bali, mengundurkan diri.

Awal Desember lalu, Koordinator Pelaksana Stranas PK, Pahala Nainggolan telah melakukan studi banding ke TPST kertalangu Kota Denpasar, Bali guna melihat dari dekat optimlasasi pengelolaan sampah pada 3 TPST di Kota Denpasar. Seperti diketahui bahwa TPST Kota Denpasar, telah bekerjasama dengan pihak Swasta dalam pengelolaan sampah untuk dirubah menjadi RDF. RDF hasil pengolaan di Kota Denpasar bahkan telah disetor tak hanya untuk PLTU di wilayah Bali saja, namun juga ke Jawa Tmur dan Surakarta.

Sementara dari hasil rapat informal Selasa siang akan segera dilanjutkan dengan rakor yang lebih teknis, berdasarkan masukan rakor selasa Siang. 2 hal penting yang akan menjadi bahasan penting selanjutnya adalah masalah tipping fee dan offtaker.