Jakarta, Juni 2025 – Strategi Nasional Pencegahan
Korupsi (Stranas PK) tengah mendorong implementasi Rekam Medis Elektronik
(RME) berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai bagian dari Aksi
Pencegahan Korupsi Nasional 2025–2026. Salah satu langkah konkritnya adalah
kunjungan dan evaluasi lapangan ke sejumlah rumah sakit untuk meninjau sejauh
mana integrasi sistem ini telah diterapkan, baik di rumah sakit pemerintah
maupun swasta.
Salah satu temuan menarik datang dari kunjungan ke RS
Citra Arrafiq Depok, rumah sakit swasta yang dijadikan lokasi piloting
penerapan RME untuk verifikasi klaim Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Secara
umum, sistem informasi rumah sakit (SIMRS) di sana sudah berkembang dan tengah
diintegrasikan dengan platform nasional SATUSEHAT, namun terdapat
tantangan besar: biaya tinggi penerapan Tanda Tangan Elektronik (TTE).
“Digitalisasi memang menghemat anggaran alat tulis
kantor. Satu rumah sakit bisa menghemat hingga Rp200 juta per tahun hanya dari
sisi ATK. Tapi ironisnya, untuk menggunakan tanda tangan elektronik, mereka
harus membayar vendor hingga Rp54 juta per bulan. Artinya, biaya TTE
bisa mencapai lebih dari Rp600 juta per tahun, jauh melebihi penghematan
yang dihasilkan,” ujar salah satu tim evaluator Stranas PK di lapangan.
Masalah ini memperlihatkan ketimpangan antara
efisiensi sistem dan beban biaya yang ditanggung rumah sakit swasta, yang
justru menjadi pionir dalam banyak inovasi pelayanan. RS Citra Arrafiq Depok
misalnya, telah menerapkan antrean online, validasi biometrik untuk pasien JKN,
dan dashboard digital yang memudahkan koordinasi antarunit. Namun karena sistem
TTE belum terpasang, dokter masih menulis diagnosa secara manual, dan perawat
harus melakukan input ulang agar dokumen dapat diklaim ke BPJS.
Lebih jauh, sistem RME internal belum sepenuhnya
terkoneksi dengan SATUSEHAT, sehingga data historis pasien hanya tersedia
di dalam lingkungan RS yang sama. Bahkan dua cabang RS Citra Arrafiq di Depok
dan Sawangan masih memiliki database yang terpisah.