Terserapnya Tenaga Kerja Hingga Dicabutnya Perda Retribusi Sampah
Dampak ditutupnya TPA oleh warga, alih-alih mencari lokasi TPA baru, pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup/ DLH dibantu warganya justru melihat sampah sebagai peluang baru. Sampah tidak lagi mereka anggap sebagai musibah, tapi berkah. Banyumas pun ber-sumpah beruang, sulap sampah berubah menjadi uang. Pemerintah daerah mengambil perannya sebagai regulator dan fasilitator alat-alat pengolahan sampah. Dengan awal pembangunan pada tahun 2018 sebanyak 5 TPS dengan biaya sekitar 2,3 miliar per hangar untuk kapasitas 15ton/hari. Biaya ini terdiri dari 1,2 miliar untuk pembangunan hanggar (lokasi dan instalasi) dengan luas 1.200m2 dan biaya peralatan 1,1 miliar, dengan anggaran APBD membeli mesin pengolah sampah melalui e-katalog. Mesin pengolah sampah tersebut diantaranya adalah mesin gibrik, cruser atau sceder, pirolisis, ball press, mixer, rotary dreyer, yang memiliki fungsi sendiri-sendiri. Pemerintah menyadari, alat-alat itu tak akan ada artinya bila pengelolaannya tidak terintegrasi dari hulu ke hilir. Artinya, diperlukan peran serta masyarakat memilah sampah rumah tangga mereka. Sebagai imbalannya, pemerintah akan memberikan reward berupa uang. Pemerintah bahkan menyiapkan aplikasi, yaitu salinmas dan jeknyong atau bank sampah, yang bisa di akses seluruh warga Banyumas untuk mengecek saldo hasil pemilahan sampah yang mereka lakukan secara mandiri. Jika tidak sanggup memilah sampah, warga wajib berlangganan jasa Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang berperan sebagai operator, pengelola setoran sampah warga. Artinya, terjadi penyerapan tenaga kerja dalam pengelolaan sampah. Setiap TPS membutuhkan setidaknya 15 orang pekerja yang merupakan warga sekitar.